Piknikdong.com, Event – Kelompok seniman Kamoro dari Papua Tengah, melakukan “srawung budaya” ke dua lokasi, dua kelompok seniman pahat di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah pada Kamis (5/9/2024).
Dua lokasi yang dimaksud adalah kelompok masyarakat ukir bambu di Desa Kebonsari, Kecamatan Borobudur dan kelompok seni Gadhung Melati di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Srawung Budaya yang dimaksudkan sebenarnya adalah acara workshop sekaligus silaturahmi yang dilakukan antar kelompok seniman, yang dilakukan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan dari Festival Bumi Atsanti (FBA) 3 tahun 2024, yang secara resmi dibuka pada Jumat (6/9)2024).
Srawung dalam bahasa Jawa bermakna berinteraksi, bersosialisasi, bergaul dengan orang lain.
Andi Widiatmoko, koordinator lapangan Yayasan Atsanti, mengatakan, istilah srawung sengaja dipakai karena aktivitas workshop dalam FBA bermakna lebih mendalam daripada sekedar kegiatan pelatihan.
“Selain menambah ketrampilan, worshop berlabel srawung budaya ini terdapat pertukaran pengetahuan lintas suku, agama, dan daerah,”
ujarnya, dalam kegiatan srawung budaya di Desa Kebonsari, Kecamatan Borobudur.
Kegiatan workshop ini juga semakin menambah warna dalam FBA karena baru dilakukan di tahun ini.
Srawung, menurut dia, juga tidak bisa sekedar diartikan bergaul, namun mengenal lebih dekat dan dalam.
Tidak hanya dalam workshop, srawung ini sebenarnya juga sudah ada, dilakukan dalam aktivitas kesenian, kebudayaan yang dilakukan Yayasan Atsanti.
Hal ini diwujudkan dengan mempertemukan para seniman dari berbagai penjuru Nusantara inilah yang sekaligus juga membantu mereka, mengenakkan tentang pentingnya konsep menjalin relasi dan berjejaring.
Pertukaran pengetahuan
Dalam pelaksanan di lapangan, kegiatan workshop berlangsung sangat akrab dan cair.
Di Desa Kebonsari, seniman Kamoro terlebih dahulu beraksi menunjukkan kebolehannya, dengan mengukir di berbagai bahan kayu yang telah dibawa dari Papua.
Sembari memahat, sejumlah warga dari berbagai desa di Kecamatan Borobudur termasuk Desa Kebonsari, kemudian mengajak mengobrol, menanyakan berbagai hal terkait ukiran, termasuk menanyakan perihal jenis kayu dan motif ukiran.
Karena berlangsung cukup lama, lebih dari setengah jam, pembicaraan pun berkembang, hingga mengobrol, bertanya tentang kopi khas dan kondisi cuaca di Timika, Papua.
“Di Timika panas atau sering hujan,”
ujar Anang, salah seorang warga Desa Kebonsari, iseng bertanya pada Hendrikus, seniman Kamoro yang tengah asyik mengukir.
Sementara itu, sejumlah warga asli Borobudur lainnya, juga tertarik untuk ikut mencoba mengukir kayu.
Hal ini antara lain dilakukan oleh Suradi, perajin bambu asal Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur.
Dia ingin melanjutkan pekerjaan Aneklitus, asal Kota Timika, yang ketika itu tengah mengukir motif sejumlah segiempat.
Seniman suku Kamoro tersebut mengatakan, dirinya tengah mengukir gambar awan dan pemandangan langit, dan Suradi hanya mengiyakan.
“Saya coba saja. Menurut dia (Aneklitus), ini adalah gambar awan, namun bagi saya, sementara ini motif ini sepintas terlihat bentuk kotak-kotak saja,”
ujarnya bergurau.
Setelah itu, kelompok perajin Desa Kebonsari bergantian menerangkan tentang potensi alam berupa 11 jenis bambu yang kemudian dimanfaatkan warga menjadi berbagai ragam kerajinan, mulai dari gelas, gasing, penyaring kopi, hingga penguat audio untuk telepon selular.
Warga Desa Kebonsari kemudian juga mengajak semua yang hadir untuk bersama – sama membuat wayang siladan.
Adapun, siladan adalah bilah bambu dari lapisan terdalam yang biasanya menjadi sampah buangan karena tidak dipakai untuk bahan kerajinan.
Ide membuat wayang ini muncul dari para perajin yang sengaja ingin membuatkan anak-anaknya mainan saat mereka sendiri tengah sibuk beraktivitas membuat kerajinan bambu.
Selanjutnya, rombongan seniman Kamoro kemudian bergeser ke Desa Sengi, Kecamatan Dukun.
Diterima oleh pimpinan sanggar Gadhung Melati, Ismanto, pertemuan itu dimulai dengan sesi perkenalan singkat dan langsung dilanjutkan dengan praktek membuat alat pahat dan praktek memahat batu.
Dalam kesempatan itu, Ismanto mengajak semua seniman Kamoro untuk membuat alat ukir sendiri dan tidak tergantung pada persediaan alat pahat yang dijual di toko.
Selain memperlihatkan praktek cara membuat, dia pun juga memastikan akan selalu membantu para seniman Kamoro untuk mencoba melakukan hal yang sama.
“Kita harus bisa membuat alat pahat sendiri. Kalau bingung, tenang saja. Nanti saya beri video tutorialnya,”
ujarnya.
Beberapa orang kemudian tertarik membuat alat pahat, dan sebagian lainnya mencoba praktek memahat batu.
Ketua Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, Herman Kiripi, kemudian bergantian menerangkan tentang kerajinan pahat batu yang dibuat oleh para seniman.
Kerajinan tersebut biasanya dibuat bermotif gambar leluhur ataupun segala sesuatu yang ada biasa terlihat di sekitar mereka seperti pemandangan langit dan hasil tangkapan ikan sungai.
Sebagian kerajinan dibuat menjadi alat musik pukul di mana di bagian atasnya ditutup oleh kulit biawak atau ular yang dilekatkan pada kayu.
“Sekarang kulit biawak atau ular tersebut direkatkan dengan lem.
Namun, di masa lalu, saat belum ada lem, kulit binatang itu direkatkan dengan darah manusia yang dicampur dengan kerang yang sudah menjadi kapur,”
ujarnya.
Di tempat tersebut, para seniman Kamoro dan anak-anak, murid Sanggar Gadhung Melati, bergantian menyajikan pentas tari.
Terakhir, mereka bahkan melakukan kolaborasi, di mana dua seniman Kamoro menari di depan, diikuti belasan anak-anak di belakangnya yang mencoba menirukan gerakan mereka.
Pertemuan itu pun berakhir dengan senyum dari dua kelompok warga berbeda pulau tersebut. Srawung budaya berakhir dengan gembira.