Museum MACAN memulai sebuah proyek seni kontemporer kolaboratif, bertajuk Present Continuous / Sekarang Seterusnya yang mengikutsertakan perupa dan komunitas seni dari sejumlah daerah di Indonesia.
Diinisiasi sebagai tanggapan atas pandemi COVID-19 di Indonesia, proyek ini dilakukan bersama sejumlah organisasi seni berpengaruh dan bienial seni kontemporer di Indonesia, yang telah menunjuk lima seniman, serta didukung oleh lima ko-kurator untuk berpartisipasi dalam pameran ini.
Present Continuous / Sekarang Seterusnya resmi dibuka tanggal 16 September 2021 dengan sebuah panel diskusi bersama lima rekan kurator yang akan memulai sebuah seri dari wicara, presentasi, dan diskusi grup daring yang akan dilakukan dalam rangka pembukaan pameran untuk publik di Museum MACAN dari tanggal 18 Desember – 15 Mei 2022* dengan protokol kesehatan dan keamanan yang ketat.
Dirancang sebagai platform untuk memberikan suara kepada komunitas seni yang datang dari berbagai latar belakang geografis, proyek ini menghubungkan seniman dan komunitasnya melalui pilihan pengalaman beragam lewat program wicara, presentasi dan diskusi grup daring.
Present Continuous / Sekarang Seterusnya diinisiasi dan diorganisir oleh Museum MACAN, bekerjasama dengan lima organisasi seni: Biennale Jogja, Indeks, Jatiwangi art Factory, LOKA, dan, Makassar Biennale.
Pameran ini membuka untaian dialog mewakili berbagai perspektif, dimana Museum MACAN bersama lima rekan kurator yang ditunjuk: Anwar Jimpe Rachman, Arie Syarifuddin, Elia Nurvista, Putra Hidayatullah, and Rizki Lazuardi mengundang publik untuk mengenal seniman dan problematika budaya lokal yang berdampak kepada masyarakat di Indonesia secara lebih mendalam.
Proyek seni yang ditunjuk melalui Present Continuous / Sekarang Seterusnya diharapkan dapat memperkaya program seni di seluruh indonesia, sebagai proyek pertukaran ide dan gagasan, sejalan dengan riset, proyek, dan presentasi yang dilakukan oleh para rekan kurator.
Proyek kolaboratif ini juga akan hadir di pameran dan bienial lain untuk mendapatkan audiens yang lebih luas terhadap karya dan ide dari para seniman, khususnya di tengah pembatasan perjalanan karena pandemi.
Pameran ini melibatkan empat seniman dan dua kolektif seni: Arifa Safura & DJ Rencong (Banda Aceh), Mira Rizki (Bandung), Muhlis Lugis (Makassar), Udeido Collective (Jayapura), dan Unit Pelaksana Terrakota Daerah (UPTD) (Majalengka).
Diselenggarakan secara langsung dan melalui program daring, pameran ini mengangkat situasi politik masyarakat adat dan kaitannya dengan pengalaman kolonial, memori kolektif, sejarah dari bunyi dan relasinya dengan konsep kehidupan bermasyarakat, mitologi, dan alam, serta industri kreatif yang berdampak pada perubahan kebijakan dan pengembangan ekonomi mikro.
“Pandemi COVID-19 menuntut kami untuk mencari cara baru dalam menghubungkan seniman dan audiens, juga untuk berpikir dari sudut pandang yang berbeda mengenai kolaborasi dan riset.
Perubahan ini membentuk cara-cara baru dalam berkreasi, melakukan kolaborasi dan dukungan, khususnya di Indonesia di mana unsur geografis dan akses terhadap teknologi menjadi kendala.
Kolaborasi organisasional seperti Present Continuous / Sekarang Seterusnya adalah sebuah cara untuk mengatasi kendala tersebut.
Saya senang para seniman dan komunitas seni dapat membawa perspektif yang beragam terhadap isu kebudayaan lokal melalui karya artistik, Dari Aceh ke Papua, kita dapat melihat eksplorasi yang beragam, seperti kehidupan politik masyarakat adat, memori kolektif, sejarah dari bunyi dan relasinya dengan kehidupan bermasyarakat, mitologi, dan alam, serta industri kreatif yang berdampak pada perubahan kebijakan dan pengembangan ekonomi mikro.”
ungkap Aaron Seeto, Direktur Museum MACAN dan direktur proyek Present Continuous / Sekarang Seterusnya.
“saya memilih Muhlis Lugis yang memiliki pendekatan menarik terhadap cukil kayu, sebuah metode yang tidak banyak dilakukan oleh seniman dari Makassar.
Karyanya berfokus pada detail, dan banyak terinspirasi dari cerita rakyat Sulawesi Selatan yang kaya mitos dan berhubungan erat dengan lanskap garis Wallacea, dimana hal ini juga menjadi perhatian utama dari Makassar Biennale.”
ungkap Anwar Jimpe Rachman, ko-kurator
“Kami mewakili UPTD, sebuah kolektif yang berangkat dari industri terakota lokal, yang dibentuk oleh seniman dan warga lokal yang terlibat dengan material yang tradisional dan historis.
Kami akan membuat Terraditionale House, sebuah rumah tradisional terakota yang bermain dengan ide, bentuk dan material yang tersebar di seluruh Majalengka.
ungkap Arie Syarifuddin, ko-kurator
“Berangkat dari semangat dekolonisasi sebagai ruh utama Biennale Seri Ekuator, Jogja Biennale kali ini akan menyoroti persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan politik kontemporer, seperti misalnya meningkatnya kesadaran masyarakat adat atas warisan budaya, usaha-usaha mendekolonisasi cara pikir, merebut kembali wilayah teritorial dan memperjuangkan posisi sosial; persoalan migrasi, hingga bentuk-bentuk modernisasi yang dipaksakan sehingga menggeser spiritualitas dan cara hidup tradisional.
Kami mengundang Kolektif Udeido selain untuk berpartisipasi, juga menjadi cara untuk saling belajar dan mendengar berbagai isu sosial dan budaya lewat seni kepada publik yang lebih luas.”
ungkap Elia Nurvista, ko-kurator
“Ketika saya sedang melakukan riset untuk menemukan ekspresi dan artikulasi artistik yang baru, secara tidak sengaja saya dibawa pada topik memori dan kekerasan.
Perjumpaan saya dengan Arifa Safura membawa saya kembali ke sana.
Lewat percakapan kami dalam menemukan ‘sekarang seterusnya’ memori dan trauma kekerasan yang terjadi di Banda Aceh.
Bersama DJ Rencong, suaminya sekaligus seorang seniman dan musisi, karya kolaboratif ini akan meliputi musik, gambar, dan instalasi seni.
ungkap Putra Hidayatullah, ko-kurator
“Indeks berangkat dari riset dan observasi terhadap dinamika bunyi dari perkampungan di Bandung dengan perspektif perlindungan dan perhatian. Kami menemukan bahwa di area perkampungan yang padat penduduk, bunyi tidak akan sekedar terdengar, namun dirasakan dengan emosi.
Kami mengundang Mira Rizki, atau dikenal sebagai Miki, yang dikenal lewat praktik artistik yang melibatkan bunyi dan interaktivitas didalamnya.
Dalam proyek sebelumnya, ia berhasil membawa elemen bunyi melalui interaksi sosial dalam lingkungan domestik.”
ungkap Rizki Lazuardi, ko-kurator
Seri program publik secara daring akan dihadirkan sepanjang proyek lewat diskusi yang dibawakan oleh Museum MACAN bersama dengan organisasi mitra dan ko-kurator, dengan panduan terperinci dapat ditemukan di website.
Pameran dibuka untuk publik di Museum MACAN dari tanggal 18 Desember – 15 Mei 2022* dengan protokol kesehatan dan keamanan yang ketat.
Rangkaian aktivasi digital yang terintegrasi dan tur virtual akan ditampilkan bersamaan dengan pameran untuk publik yang tidak dapat mengunjungi museum secara langsung.
Present Continuous / Sekarang Seterusnya diinisiasi oleh Museum MACAN dan didukung sepenuhnya oleh Project Eleven (Melbourne, Australia) dan Julian & Cahaya Juwadi. Program ini didukung pula partner program virtual museum, Festivo.