Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 resmi dibuka. Pameran seni rupa dan berbagai kegiatan pendukung yang mempertemukan Indonesia dengan Oseania ini akan digelar sepanjang 6 Oktober hingga 14 November 2021 secara hibrid, luring dengan protokol kesehatan ketat dan daring melalui https://biennalejogja.org/.
Menyambut gelaran seni rupa dua tahunan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengapresiasi pelaksanaannya yang konsisten dengan mengangkat tema secara serial selama 10 tahun dalam Seri Khatulistiwa.
Menurutnya, tema Equator menjadi platform gagasan sekaligus landmark geografis, geologis, ekologis, etnografis, historis, dan politis yang memiliki kesamaan identitas negara bekas jajahan.“Kawasan ini menjanjikan banyak aspek menarik untuk dieksplorasi karena keragamannya mencerminkan kekayaan budaya masyarakat,”
kata orang nomor satu di Yogyakarta tersebut dalam sambutannya melalui video pada acara Opening Ceremony Biennale XVI Equator #6 2021 di Jogja National Museum (JNM) pada Rabu (06/10) malam.
Biennale Jogja, menurut HB X, menegaskan kembali predikat kota Yogyakarta sebagai kota budaya, kota pendidikan, dan kota pariwisata.
Demikian juga sebagai media entertain sehat tanpa menghilangkan nilai dan akar budayanya.
Konsep Biennale Jogja yang selalu melibatkan negara-negara lain juga mendapatkan apresiasi dari Dirjen Kebudayaan Dr. Hilmar Farid.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa gagasan gagasan seni bangsa kita menjelajah dan memengaruhi bangsa lain.
“Ada upaya besar untuk membawa situasi kita hari ini dalam pemikiran dan pameran.
Di masa pandemi, penyelenggaran pameran ini menegaskan bahwa keterbukaan dan kesahajaan bukan sekadar laku, tetapi juga kebutuhan untuk bertahan hidup.
Semoga bisa menginspirasi seni rupa kita ke depan,”
ujarnya.
Tetapi Hilmar Farid mengingatkan bahwa hal ini tidak untuk mencari kebanggaan dan kebaruan, melainkan juga menjadi kritik diri, sehingga bisa memperbaiki diri.
Melihat kontribusi Biennale Jogja selama ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif H. Sandiaga Salahudin Uno, B.B.A., M.B.A. mengapresiasi karena dapat mendorong negara Indonesia untuk terlibat lebih dalam menjalin kerja sama dengan berbagai negara di garis khatulistiwa terkait perkembangan seni dan budaya global.
“Biennale Jogja XVI ini cerminan bagi pemerintah dalam memberikan ruang seni dan budaya yang memiliki daya tarik wisata sehingga dapat mendorong pergerakan ekonomi daerah.
Dan Biennale Jogja bisa menjadi salah satu pilarnya,”
ujar mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Dalam sambutannya, Direktur Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 Gintani Nur Apresia Swastika melaporkan kerjanya dalam mempersiapkan gelaran besar tersebut.
Gintani menuturkan, kegiatan ini melibatkan 34 seniman, dan komunitas dari berbagai daerah dan negara, seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Tangerang Ambon, Jayapura, Maluku Utara, Kaledonia Baru, Auckland, New Zealand, Australia, Timor Leste, Belanda, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Korea.
Bersamaan dengan gelaran pameran, disuguhkan lebih dari 70 agenda pengiring. Nyaris setiap hari akan ada agenda yang sebagai upaya aktivasi pameran.
“Mempertimbangkan banyaknya seniman dan kegiatan yang dihelat, kami membagi kegiatan pameran di 4 lokasi, yaitu Jogja National Museum sebagai venue pameran utama, yang mengangkat tema Roots<>Routes, kemudian Pameran Arsip Biennale Jogja di Taman Budaya Yogyakarta, yang merangkum gagasan dan dinamika sepanjang 10 tahun penyelenggaraan Biennale Jogja seri Khatulistiwa serta dengan apik menghadirkan Museum Khatulistiwa.
Pameran lainnya adalah Bilik Negara Korea dan Taiwan di Museum dan Tanah Liat dan Indie Art House,”
ujar Gintani Nur Apresia Swastika.
Pembukaan acara ditandai dengan beberapa pejabat secara bersamaan membuka tirai yang menutupi gambar bertuliskan tema Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, Roots <> Routes.
Acara dilanjutkan dengan melihat karya para seniman di ruang pamer di JNM. Setelahnya, para pengunjung menyaksikan pertunjukan yang diisi oleh Mother Bank Band, Nova Ruth, dan Asep Nanyak.