Ceramah Literasi di Hotel Melia Purosani dengan tajuk “Yogyakarta dalam Konstelasi Sastra Global-Lokal” kembali hadir di hari ketiga Festival Sastra Yogyakarta (Joglitfest) 2019.
Dalam kesempatan tersebut, Nirwan berkomentar tentang peristiwa seni yang kerap digelar di Yogyakarta.
“Yogyakarta mungkin bisa disebut sebagai kota di Indonesia yang relatif konsisten menegaskan maklumat Octavio Paz: kota yang paling ajeg menggelar peristiwa
“seni sebagai aksi dan representasi kolektif,”
Ungkapnya saat membacakan makalah singkat yang ditulisnya “Para Pengeram Badai”.
Peristiwa seni tersebut hadir dalam berbagai rupa festival. Mulai Biennale Jogja sampai ArtJog. Hal yang sama hendak dimunculkan pula dalam dunia sastra artmelalui Joglitfest.
“Sastra sebagai aksi kolektif sudah pernah diupayakan, jauh sebelum Joglitfest ini.
Namun, baru kali bukan hanya menyatukan para seniman, pemerintah juga ambil bagian dalam penyelenggaraan,”
Papar Nirwan.
Festival, bagi inisiator Pustaka Bergerak Indonesia ini, tidak hanya sekadar rangkaian pertunjukan dan penampilan.
“Festival adalah bagian proses panjang pemantapan pengetahuan artistik dan kultural sekaligus medan merdeka bagi segala ekspresi kreatif,”
Ucapnya. Oleh karena itu, festival harus memuat kritisme sekaligus menjadi metode untuk emansipasi sosial.
Sikap optimis Nirwan bukan tanpa kritik. Baginya, festival semakin disadari sebagai peristiwa reguler.
“Hal tersebut berisiko menggerus aspek transformatif dari festival sebagai perangkat perubahan sosial,”
Kata penulis buku Semesta Manusia ini.
[artikel number=3 tag=”news”]Begitu banyak festival, namun tanpa manfaat jelas bagi manusia.
“Kita berhadapan dengan tantangan festivalisme yang tak menyakinkan sebagai gelanggang emansipasi sosial dan tak mengesankan sebagai medan penciptaan,”
Tambah Nirwan.
Di sesi kedua, Seminar Sastra menghadirkan Nanang Suryadi dan Ahda Imran. Seminar yang bertajuk “Dinamika Sastra di Dunia Maya” dan “Makna Sastra di Dunia Nyata” tersebut berlangsung sekaligus.Perkembangan Sastra, bagi Nanang, sudah lebih jauh dari kemungkinan-kemungkinan lain yang pernah ia tulis awal 2000-an, saat ia, Saut Situmorang, dan beberapa kawan lainnya membuat Cybersastra.net.
Namun, saat ini pengguna internet jauh lebih luas dari masa Nanang mengelola web sastra tersebut.
“Saat ini, media sosial banyak digunakan oleh para penulis sastra untuk memperluas jaringan antarpenulis, walaupun mereka tidak menampilkan karya-karya sastranya di sana,”
Ucapnya.
Keberadaan awal media sosial membuat minat buku fisik naik. Hal tersebut membuat industri buku cetak lebih ramai daripada ebook yang sempat dikhawatirkan menggerus pasar buku konvensional.
“Di media sosial seperti Facebook banyak muncul grup-grup komunnitas sastra yang menampilkan karya-karya sastra dan selanjutnya dikumpulkan menjadi buku,”
Ungkap Nanang.
Sedangkan bagi Ahda Imran, dunia maya (atau dunia digital) adalah bagian dari dunia nyata dan bahkan saling mempengaruhi.
Oleh karena itu, ukuran bagus tidaknya sebuah karya bukan soal. Dalam dunia maya, karya sastra diukur menarik atau tidak. Oleh karena itu, bagi Ahda, dunia maya adalah dunia yang mengutamakan kemasan. Saat ini, batas antara dunia maya dan dunia nyata begitu tipis. Hampir tak ada.
Selain itu, dunia digital membuat penulis dan pembaca tidak lagi berjarak misterius. Penulis dan pembaca bisa bertemu di platform media sosial dan saling interaksi.
“Kehadiran pengarang di media sosial bisa dipahami sebagai usaha membentuk brand personal,”
Ucap Ahda.
Hal ini berguna untuk penulis untuk tahu siapa saja pembaca dan bagaimana mereka menanggapi karyanya.